Oleh Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS., Pakar Asuransi Syariah dan Humas BWI.
Wakaf
bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui
harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang
dimilikinya untuk kepentingan umum. Ajaran wakaf disandarkan pada Sabda
Rasulullah saw. “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua
amalnya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). (Shahih Muslim, No. 3084,
jz. 8, h. 405). Para ulama fikih sepakat, yang dimaksud dengan “shadaqah
jariyah” dalam hadis di atas adalah wakaf. Ulama-ulama ahli hadis pun
sepakat mengamini pandangan tersebut. (Ali Ibn Muhammad al-Jurjani,
2000: 328).
Lebih rigid lagi, dalam literatur fikih, wakaf
dibedakan dengan jenis filantropi Islam yang lain, semisal zakat, infak,
dan shadaqah. Wakaf adalah memberikan harta untuk dikelola oleh nazhir
(pengelola), lalu hasil pengelolaan digunakan untuk kesejahteraan umum.
Jadi, harta asal yang diwakafkan tersebut tetap utuh, hanya hasil
investasi saja yang boleh dibagi-bagikan untuk kemaslahatan. Pendapat
para fuqaha ini berdasarkan atas Hadis Nabi yang mengatakan, ahbis
ashlaha wa sabbil tsamrataha, tahanlah asalnya (harta pokok yang
diwakafkan) dan bagikan hasilnya (hasil pengelolaan atau investasi).
(HR. Bukhari Muslim).
Ketika berwakaf, ada empat rukun yang
harus dipenuhi. Pertama, orang yang berwakaf (waqif). Kedua, benda yang
diwakafkan (mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf
‘alaih). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah). (Shahih Muslim bi
Syarkh al-Nawawi, 1983, jz. 5, h. 324). Benda yang dapat diwakafkan
terdiri dari dua macam: benda tak bergerak misalnya tanah; dan benda
bergerak contohnya uang. Selain rukun wakaf yang empat, ada satu lagi
elemen penting dalam wakaf, yaitu nazhir atau pengelola harta wakaf.
Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Dalam
buku-buku fiqh tidak disebutkan bahwa Nazhir termasuk salah satu rukun
wakaf. Namun karena peran penting Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf, maka Undang-undang nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf menentukan Nazhir sebagai salah satu unsur wakaf.
Dalam
Undang-undang tersebut juga dijelaskan jenis Nazhir dan
syarat-syaratnya sehingga pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf di
Indonesia bisa lebih profesional sehingga memberi manfaat dan faedah
yang maksimum. Untuk meningkatkan kinerja Nazhir, undang-undang juga
telah mengatur tugas dan wewenang Nazhir. Meskipun Nazhir memiliki tugas
dan wewenang yang besar dalam perwakafan, ini tidak berarti Nazhir
memiliki kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya.
Pada umumnya ulama sepakat bahwa kekuasaan Nazhir hanya terbatas pada
pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang
dikehendaki Wakif.
Dalam menjalankan tugasnya, Nazhir berhak
menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 % (sepuluh persen).
(Pasal 12, UU No. 41 tahun 2004, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih
atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak
melebihi 10% (sepuluh persen).”). Hal ini juga bisa dirujuk dasar
hukumnya pada hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin Khaththab
ketika mendapatkan tanah di Khaibar, lalu ia mewakafkan tanah tersebut.
Pada akhir hadis disebutkan; “Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan
cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau
memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
(Imam Muslim, Shahih Muslim, Bab Waqf, Jz. 8, No. 3085, h. 407).
Dilihat
dari sisi peruntukan, wakaf terbagi menjadi dua: wakaf keluarga (ahli,
ada juga yang menyebut wakaf khusus) dan wakaf kebajikan (khairi, ada
yang menyebut wakaf umum). (Wahbah al-Zuhaili, 1987, juz.8, h. 161).
Wakaf keluarga adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak-cucu atau
kerabat. Sedangkan wakaf kebajikan adalah wakaf yang ditujukan untuk
kepentingan umum. Pada prinsipnya, wakaf keluarga tidak berbeda dengan
wakaf kebajikan. Keduanya sama-sama bertujuan membantu pihak-pihak yang
memerlukan. Ini sebagai realisasi perintah Allah kepada manusia untuk
membelanjakan sebagian dari hartanya untuk orang lain, sebagaimana
tercantum dalam surat Ali Imran ayat 92. “Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92).
Perbedaan
antara keduanya hanya terletak pada pemanfaatannya. Pada wakaf ahli,
pemanfaatannya hanya sebatas keluarga wakif. Yakni, anak-anak mereka
pada tingkatan pertama dan seluruh keturunannya secara turun temurun
sampai seluruh anggota keluarga itu meninggal dunia. Baru setelah itu
hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain, seperti anak yatim piatu,
fakir-miskin dan pihak lain yang memerlukan. Sedangkan yang dimaksud
wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan
umum. (Wahbah al-Zuhaili, 8/161). Wakaf jenis ini dapat digunakan
sebagai salah satu sumber investasi untuk pembangunan ekonomi umat, baik
di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan lainnya.
Karena
itulah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda. Selain untuk
menggapai keridhaan dan pahala dari Allah di hari kelak, wakaf merupakan
ibadah yang juga berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia
dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Dalam
sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk amal sosial untuk
kepentingan umum. Wujud kepentingan umum itu bisa berupa jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu
segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau
memanfaatkan harta di jalan Allah swt melalui pintu wakaf. Dengan
demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, sejak dahulu kala,
wakaf sangat berjasa besar dalam membangun berbagai sarana sebagai
bentuk jaminan sosial untuk kepentingan umum demi kesejahteraan umat
manusia. Prinsip ini hingga kini terus dilestarikan.
Dalam
manajemen kekinian, wakaf diintegrasikan dengan berbagai sistem modern
yang telah ada, terutama menyangkut wakaf uang yang belakangan kian
gencar dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan UU No. 41 tahun 2004,
penerimaan dan pengelolaan wakaf uang dapat diintegrasikan dengan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS). (Pasal 28, UU No. 41 tahun 2004). Dalam
wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang berupa
uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS
Penerima Wakaf Uang (PWU).
Dalam sistem pengelolaan wakaf
uang, tak banyak berbeda dengan wakaf tanah, nazhir bertugas untuk
menginvestasikan sesuai dengan syariah, dengan satu syarat: nilai
nominal uang yang diinvestasikan itu tak boleh berkurang. Sedangkan
hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10 %) dan
kesejahteraan masyarakat (minimal 90 %). (Pasal 12, UU No. 41 tahun
2004).
Saat ini, yang sedang berjalan adalah kerjasama nazhir
dengan perbankan syariah. Ini tercermin dengan keputusan Menteri Agama
yang menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal
wakaf uang. (Lima Bank tersebut adalah Bank Muamalat, Bank Syariah
Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Mega Syariah. Lihat, Keputusan
Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008). Karenanya, tidak menutup
kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang juga bisa dipadukan dengan
instrumen asuransi syariah, yang merupakan bagian dari jenis LKS dari
sektor non perbankan. Sebelum melangkah pada pengintegrasian sistem
wakaf dalam instrumen asuransi syariah, penulis akan menjelaskan,
prinsip dasar asuransi syariah.
Konsep Asuransi Syariah
Asuransi
syariah disebut juga dengan istilah takaful, artinya tolong menolong
atau saling membantu. Dalam konteks bermuamalah, takaful berarti saling
memikul resiko di antara sesama manusia, antara satu dengan yang lainnya
menjadi penanggung atas risiko yang lain. (Muhammad Syakir Sula, 1996:
1). Pijakan utamanya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap
sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang
dialami peserta. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah ayat 2, “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan
dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Secara definitif, asuransi
syariah adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong
diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau
tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko atau
bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. (Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001). Dari definisi di atas tampak
bahwa asuransi syariah bersifat saling menilndungi dan tolong-menolong,
yang disebut dengan ta’awun. Yaitu, prinsip hidup saling menlindungi dan
saling menolong atas dasar ukhuwah islamiyah antara sesame anggota
peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka atau resiko.
(Huzaemah T. Yanggo, 2003: 23).
Atas dasar itu, premi pada
suransi syariah berbeda dengan premi konvensional. Premi yang dibayarkan
oleh peserta asuransi syariah terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru.
Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syariah (life
insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari
pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan
beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila
peserta yang bersangkutan menagjukan klaim, baik berupa klain nilai
tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan dana tabarru’ adalah
derma atau dana kebajikan yang diikhlaskan oleh peserta asuransi jika
sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat
asuransi (life atau general insurance). (Fatwa DSN MUI, No.
21/DSN-MUI/X/2001).
Dalam pengelolaannya, dana nasabah atau
premi dalam asuransi syariah dikelola dengan dua sistem, sistem yang
mengandung unsur tabungan (saving) dan sistem yang tidak mengandung
unsur tabungan (non saving). (Muhammad Syakir Sula, 2004: 177-179).
1. Sistem yang Mengandung Unsur Tabungan (Saving)
Setiap
peserta wajib membayar sejumlah uang secara teratur kepada perusahaan.
Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta.
Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat
dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui
rekening koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara
pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupuntahunan.
Setiap
premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi
dalam dua rekening yang berbeda. Pertama, rekening tabungan, yaitu
kumpulan dana yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila
perjanjian berakhir, atau peserta mengundurkan diri, atau meninggal
dunia Kedua, rekening tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh
peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan
saling membantu, yang dibayarkan bila peserta meninggal dunia, atau
perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana).
Kumpulan dana
peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap
keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi denagn beban asuransi
(klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip
Al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam
suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara
perusahaan dengan peserta.
2. Sistem yang Tidak Mengandung Unsur Tabungan (Non Saving)
Setiap
premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam rekening
tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran
kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan
dibayarkan bila peserta meninggal dunia, atau perjanjian telah berakhir
(jika ada surplus dana). Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan
sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah
dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan
dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Mudharabah dalam
suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara
perusahaan dengan peserta. Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar
berikut.
Berdasarkan sistem pengelolaan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa akad yang dapat dilakukan antara peserta dengan
perusahaan terdiri atas akad tijarah (sama dengan mudharabah) dan atau
akad tabarru’ (sama dengan hibah). Dalam akad tijarah (mudharabah),
perusahaan berntindak sebagai pengelola (mudharib), dan peserta berperan
sebagai pemegang polis (shohibul mal). Sementara dalam akad tabarru’
(hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong
peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan berperan sebagai
pengelola dana hibah. Dalam pelaksanaannya akad tijarah dapat diubah
menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela
melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum
menunaikankewajibannya. Sementara akad tabarru’ tidak dapat diubah
menjadi jenis akad tijarah. (Fatwa DSN MUI, No. 21/DSN-MUI/X/2001).
Asuransi Syariah Berbasis Wakaf
Secara
umum, jenis asuransi ada dua: asuransi keluarga (ada juga yang menyebut
asuransi jiwa) dan asuransi umum. Begitupula dalam asuransi syariah.
Dilihat dari sisi pembagian jenis asuransi ini, ada kemiripan dengan
jenis wakaf, yang terdiri dari wakaf kelurga dan wakaf umum, seperti
dijelaskan di atas. Begitupula dengan tujuan keduanya, baik asuransi
syariah maupun wakaf adalah untuk tolong-menolong atau saling membantu
untuk meringankan beban dan kesejahteraan bersama. Meski begitu, sudah
mafhum bahwa keduanya jelas berbeda, mulai dari rukun, akad, hingga
pengelolaan.
Tapi setidaknya kemiripan itu, dapat dijadikan pintu
masuk sistem wakaf dalam instrumen asuransi. Sebab, asuransi syariah
tidak menutup kemungkinan bisa perberan sebagai penerima dan pengelola
wakaf uang. Kalau bank syariah saja bisa, asuransi syariah pun juga
terbuka kemingkinan. Sebab, keduanya adalah bagian dari jenis Lembaga
Keuangan Syariah, yang diamanatkan undang-undang untuk bisa bekerjasama
dengan nazhir dalam penerimaan wakaf uang. Ada beberapa pola yang dapat
dimanfaatkan perusahaan asuransi syariah dalam mensinergikan dan
mengintegrasikan sistem wakaf dalam instrumen asuransi.
Dalam
konteks ini, perusahaan asuransi syariah berperan sebagai penerima dan
pengelola wakaf uang, sekaligus penyalur hasil investasi. Jadi, asuransi
syariah punya peran yang sangat strategis. Ini adalah peran penuh
perusahaan asuransi syariah sebagai nazhir wakaf uang. Perlu digaris
bawahi, dana wakaf yang masuk sedikitpun tidak boleh berkurang, apalagi
diguanakan untuk biaya operasioal, biaya klaim, atau apapun terkait
dengan operasional perusahaan asuransi syariah. Dana wakaf harus menjadi
“aset tetap” yang keberadaannya abadi. Karena konsep wakaf, sebagaimana
disinggung di atas, adalah harta yang diwakafkan tidak boleh berkurang,
tidak boleh habis, tapi bersifat produktif dan menghasilkan manfaat.
Jadi, kewajiban utama perusahaan asuransi syariah pada peran ini adalah
sama dengan tugas nazhir, mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
Pada
pengelolaan model saving (tabungan), yang biasa diberlakukan pada jenis
asuransi syariah keluarga atau juga disebut takaful keluarga, dana
wakaf dibagi pada dua rekening: tabungan dan tabarru’. Bedanya dengan
sistem asuransi adalah: (1) dana wakaf pada rekening tabungan tidak
boleh dikembalikan kepada peserta (wakif), sebab dana tersebut sudah
diwakafkan. Begitupula dengan hasil investasinya, tidak boleh diberikan
kepada peserta, tapi harus disalurkan atau digunakan kepada yang berhak
(mauquf alaih) sesuai dengan keinginan peserta, “bebas”.
(2)
dana wakaf pada rekening tabarru’ konsepnya agak sedikit berbeda. Jika
biasanya dana di rekening tabarru’ dapat langsung digunakan untuk klaim,
maka ini tidak bisa diterapkan pada dana wakaf yang masuk pada rekening
ini. Dana wakaf tersebut harus dikelola dan diinvestasikan terlebih
dahulu, baru hasil investasinya dapat digunakan sebagai dana klaim untuk
tolong menolong antarsesama peserta asuransi. Jadi, pada aras ini, saat
ikrar wakaf peserta (wakif) harus menunjuk “peserta asuransi”
perusahaan tersebut sebagai “mauquf alaih”. Berarti, hasil investasinya
digunakan sebagai dana tolong-menolong antar sesama peserta asuransi.
Baik
“dana wakaf” yang masuk dalam rekening tabungan maupun tabarru’,
keduanya harus utuh, tidak boleh digunakan untuk opersional ataupun
klaim. Dana operasional akan diambilkan dari dana hasil investasi baik
yang bersumber dari rekening tabungan maupun rekening tabarru’.
Sedangkan dana klaim dapat diambilkan dari hasil investasi yang
bersumber dari rekening tabarru’. Setelah itu, pihak perusahaan
memperoleh maksimal 10 persen dari hasil bersih pengelolaan atau
investasi.
Pengelolaan asuransi syariah berbasis wakaf ini,
perusahaan asuransi sebagai nazhir, akan sangat strategis bila
diterapkan dalam jenis asuransi syariah keluarga (takaful keluarga).
Konsep ini mirip dengan wakaf ahli. Dalam wakaf ahli, wakif mewakafkan
hartanya untuk dikelola nazhir dengan produktif. Hasil investasinya
dialokasikan untuk kesejahteraan keluarga (mauquf alaih). Konsep ini
sangat cocok jika dikawinkan dengan instrumen dalam takaful keluarga.
Kalau dalam takaful keluarga, perolehan manfaat atau klaim dibatasi oleh
jangka waktu tertentu. Berbeda halnya dengan takaful keluarga berbasis
wakaf, manfaat yang diperoleh oleh pihak keluarga akan berlangsung
selamanya, sampai turun-temurun dari generasi ke generasi.
Secara
operasional, premi takaful keluarga yang bersumber dari dana wakaf akan
disatukan dalam “kumpulan dana wakaf peserta”. Lalu diinvestasikan
dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang tidak bertentangan dengan
syariah. Keuntungan bersih (setelah dipotong operasional) yang diperoleh
dari hasil investasi akan dibagikan sesuai dengan perjanjian mudharabah
yang disepakati bersama, dengan ketentuan: maksimal 10% dari keuntungan
untuk perusahaan asuransi, dan persentase sisanya adalah untuk “mauquf
alaih”. Bila takaful biasa keuntungan dialokasikan untuk perusahaan
asuransi dan peserta, lain halnya dengan takaful wakaf, keuntungan
dialokasikan untuk perusahaan dan “mauquf alaih” yang ditunjuk peserta
(wakif).
Lain halnya dengan model pengelolaan dana wakaf pada
model asuransi syariah non saving, tidak ada unsur tabungan. Ini biasa
dipraktikkan dalam jenis asuransi syariah umum atau takaful umum. Dana
dikelola dalam satu kantong yaitu rekening tabarru’ atau juga disebut
rekening khusus. Konsepnya sama dengan pengelolaan dana wakaf pada
rekening tabarru’ pada model saving. Dana wakaf yang terkumpul pada
rekening ini tidak boleh langsung digunakan untuk operasional atau
klaim. Lalau dari mana? Operasional dan premi diambilkan dari hasil atau
keuntungan investasi. Sedangkan dana premi yang berupa wakaf
keberadaannya tetap utuh, abadi selamanya.
Jadi, setiap premi
(dana wakaf) yang diterima perusahaan asuransi syariah akan dimasukkan
dalam rekening tabarru’. Premi tersebut akan dikumpulkan ke dalam
“kumpulan dana peserta” untuk diinvestasikan dalam proyek-proyek
produktif yang sesuai dengan syariah. Keuntungan bersih hasil investasi
yang diperoleh akan dialokasikan untuk keuntungan perusahaan asuransi
(maksimal 10%), dan sisanya untuk klaim atau dana tolong menolong
antarsesama peserta asuransi. Pengelolaan dana wakaf pada takaful umum
(model non saving) dapat dilihat pada gambar berikut.
Setelah
mengetahui bagaimana konsep dan operasional asuransi syariah berbasis
wakaf, kini kita bernjak pada kesimpulan akhir. Ternyata, dari perpaduan
sistem tersebut, ada banyak manfaat yang bisa dipetik. Pertama,
dana wakaf yang terkumpul di perusahaan asuransi syariah tidak akan
berkurang sedikitpun. Ini merupakan karakter dari wakaf, yaitu abadi.
Karenanya, dana wakaf bak bola salju yang kian meningkat seiring
bertambahnya jumlah peserta asuransi dan perjalanan waktu. Dengan
demikian, perusahaan asuransi akan memperoleh profit besar, sebab
keberadaan dana abadi yang dimilikinya sebagai penopang peningkatan
produktifitas perusahaan. Dana abadi tersebut dengan bebas dapat
diinvestasikan dalam berbagai sektor, riil atau finansial, asal tak
melanggar ketentuan syariah.
Kedua, ketika membayar premi,
peserta asuransi sudah otomatis berwakaf. Ada dua keuntungan yang
melekat satu sama lain, keuntungan dunyawi dan ukhrawi. Keuntungan
dunyawi diperoleh sebab dana yang diwakafkan itu digunakan untuk dana
tolong-menolong dan kemaslahatan secara umum, sehingga tercipta
kesejahteraan hidup di dunia. Sisi ukhrawi diperoleh karena ia
mendapatkan pahala sebagai wakif berbentuk shadaqah jariah, yang
pahalanya mengalir meski telah tutup usia.
Ketiga, peserta juga
akan mendapat keuntungan berlipat ganda melalui takaful keluarga
berbasis wakaf. Bahkan layak dikatakan, “Takaful keluarga berbasis
wakaf, lebih dari sekedar asuransi berjangka.” Perpaduan pada instrumen
ini akan memberikan manfaat jangka panjang sekali, bahkan abadi
selamanya. Manfaat asuransi ini bisa dinikmati oleh keluarga atau ahli
waris peserta asuransi (wakif), dari generasi ke generasi. []
Daftar Pustaka
Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kairo: Dar Sya’b, 1952. Al-Jurjani, Ali Ibn Muhammad, Kitab al-Ta‘rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000. Al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Shahih Muslim bi Syarkh al-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Depag RI, Fikih Wakaf, Jakarta: Direktorat Wakaf Depag RI, 2003. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008. Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Dar Sya’b. tt. Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah; Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004. Sula, Muhammad Syakir, Konsep Asuransi dalam Islam, Bandung: PPM Fi Dzilal, 1996. UU No. 41 tahun 2004. Yanggo, Huzaemah T., Asuransi; Hukum dan Permasalahannya, Jurnal AAMAI, Tahun VII, No. 12, 2003. Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1987 |